TANGERANG-Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Kota Tangsel, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang, kembali diperpanjang. Perpanjangan PSBB karena tren kasus Covid-19 meningkat lagi. Perpanjangan tersebut dimulai 6-20 September mendatang.
Tren kasus positif Covid meningkat. Ini membuat rumah sakit (RS) penuh pasien. Ada satu kasus, warga yang positif Covid, tak bisa dirawat di rumah sakit, karena sudah penuh. Akhirnya meninggal dunia.
Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany mengungkapkan ada kasus pasien meninggal dunia karena tidak dapat kamar ICU di rumah sakit, karena sudah penuh.
“Perlu waspada. Namanya kurva pasti berubah ya. Lima hari lalu ada kejadian, satu orang cari ruang ICU, penuhnya minta ampun. Sampai akhirnya tidak tertolong,” ungkapnya.
Namun, dua hari kemudan ada dua positif parah dan tertolong. Jadi tergantung kurva dan ketersediaan sarana-prasarana. “Bantu kami menekankan protokol kesehatan jadi kewajiban masyarakat. Tidak hanya pakai masker tapi, terus jaga jarak, sering cuci tangan,” tuturnya.
Ia berharap protokol kesehatan di hulu bisa dilakukan, jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, menerapkan hidup bersih dan sehat, dengan asupan gizi yang seimbang. Airin menambahkan, asupan gizi yang seimbang tentu perekonomian harus jalan. Karena kesejahteraan masyarakat sangat penting untuk pola asupan gizi yang seimbang. Menurutnya, pemkot bertugas untuk menyiapkan sarana-prasarana penanganan medis terkait Covid-19.
“Oleh karena itu, di hilir pemerintah memastikan bagi yang Covid-19 kalau tanpa gejala berarti isolasi mandiri, atau bisa menggunakan rumah lawan Covid-19,” tambahnya.
Ibu dua anak ini menjelaskan, sarana medis menjadi penting. Ketika jumlah terkonfirmasi Covid-19 baru melonjak, kurva semakin lancip.
Wanita berkerudung ini juga mengajak wartawan untuk mensosialisasikan protokol kesehatan kepada masyarakat. Pemkot juga sedang siapkan gerakan pemberian masker untuk masyarakat. Sedangkan untuk Satpol PP ada regulasinya. Sanksi PSBB bisa diterapkan. Bisa pakai undang-undang karantina kesehatan.
“Kesadaran masyarakat masih cenderung kurang disiplin dan masih ada yang tidak percaya virus Corona,” tuturnya.
Ibu dua anak ini menuturkan, terkait pemberlakukan jam malam, setelah ia melakukan diskusi dengan Kapolres dan Dandim tidak perlu dilakukan. Hal itu disebabkan tempat-tempat umum dibuka. Maka maka jam malam tidak harus dilakukan.
“Kalau rumah makan atau kafe itu kan ada jam tutupnya. Kalau melanggar polisi bisa membubarkan karena dasarnya ada perwal dan pergub,” tutupnya.
Sementara itu, potensi klaster penularan Covid-19 di lingkungan terbatas menjadi bahasan dalam sidang kabinet Paripurna di Istana Negara kemarin (7/9). Presiden Joko Widodo menekankan sejumlah hal. Di antaranya, mengutamakan penanganan kesehatan ketimbang ekonomi.
Ada sejumlah potensi klaster penularan yang perlu diwaspadai. Yakni klaster kantor, keluarga, dan yang terbaru adalah klaster pilkada. Selama ini, yang dikejar adalah pencegahan penularan di ruang-ruang publik. Namun ternyata malah muncul klaster penularan baru di lingkungan yang lebih terbatas. Karena di lingkungan tersebut tidak jarang protokol kesehatan diabaikan.
Presiden juga meminta Kemenkes merencanakan testing dengan baik. Jangan seperti saat ini. ’’Ada provinsi yang sudah melakukan (tes) tinggi sekali, tapi ada provinsi yang testingnya masih rendah sekali,’’ imbuhnya. Harus ada perencanaan baik jumlah laboratorium maupun distribusi reagen. Termasuk strategi jejaring lab. Sehingga bisa terlihat kasus-kasus tersebut ada di provinsi mana saja.
Bagi presiden, dalam mengatasi pandemi, sisi kesehatan menjadi kunci untuk membuka sektor lain. ’’Fokus kita tetap nomor satu adalah kesehatan, adalah penanganan Covid,’’ ujarnya. Masalah kesehatan harus lebih dahulu ditangani dengan baik.
Indonesia, tambah Jokowi, ingin segera memulai kembali menggerakkan perekonomian di dalam negeri. Bila kesehatan membaik, maka perekonomian akan tumbuh dengan sendirinya. ’’Jangan sampai urusan kesehatan, urusan covid ini belum tertangani dengan baik kita sudah menstarter restart di bidang ekonomi,’’ tutup Jokowi.
Peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Wien Kusharyoto menuturkan, klaster muncul itu seiring dengan mulai banyaknya aktivitas masyarakat di luar rumah. Baik itu untuk bekerja atau yang lainnya. “Sayangnya di tengah semakin banyak aktivitas di luar rumah, masyarakat meninggalkan protokol kesehatan,” katanya kemarin (7/9).
Dia mengatakan selain protokol kesehatan, ada aspek lain yang harus diperhatikan masyarakat. Yaitu ventilasi, durasi, dan jarak. Dia mengatakan masyarakat harus memahami keberadaan dia ketika berada di luar rumah.
Misalnya saat berada di dalam ruangan atau perkantoran, selain menerapkan protokol kesehatan, juga harus memperhatikan ventilasi udara. Selain itu juga durasi. Ketika berada di dalam ruangan dengan ventilasi udara kurang maksimal, sebaiknya dibatasi hanya beberapa jam saja. “Jangan terlalu lama berada di ruangan,” paparnya.
Kemudian peneliti yang mendalami soal vaksin itu mengatakan ketika berada di dalam ruangan, aturan jaga jarak harus diterapkan. Dua mengatakan hasil riset terbaru, virus dapat menular dengan jangkauan lebih dari dua meter. Dia menyebutkan virus korona dapat menular dalam radius sampai tujuh meter.
Menurut dia keberadaan klaster keluarga dan klaster perkantoran sangat erat kaitannya. Seperti orang pertama yang membawa virus ke keluarga, sebelumnya terjangkit di kantor atau tempat kerja. Wien menjelaskan umumnya klaster keluarga itu statusnya orang tanpa gejala (OTG).
“Tetapi di dalam dirinya ada virus dan bisa menularkan ke orang lain. Ini yang berbahaya,” jelasnya. Akibat satu orang saja, anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah bisa tertular. Wien juga berpesan sebaiknya anggota keluarga juga terus membatasi aktivitas di luar rumah. Kegiatan di luar rumah harus yang benar-benar penting. Kegiatan seperti arisan keluarga secara tatap muka atau sejenisnya sebaiknya dilakukan virtual dahulu.
Wien mengatakan keberadaan OTG yang kemudian membawa virus ke keluarga seusai dengan karakteristik virus korona itu sendiri. Dia menjelaskan jendela penularan Covid-19 umumnya dua hari sebelum gejala muncul. Kemudian lima hari setelah gejala muncul.
Dia juga menjelaskan virus korona pada orang kategori OTG bisa jadi belum menyerang paru. Posisinya masih berkumpul di nasofaring. “Nasofaring ini tempat berkumpulnya virus,” jelasnya. Selain itu dia mengatakan usia orang yang terinfeksi Covid-19 juga memengaruhi apakah akan memunculkan gejala atau tidak.
Dia menegaskan banyaknya OTG dalam klaster keluarga ini sebuah tantangan tersendiri. Di dalam tubuh mereka itu banyak virus dan siap menulari siapa saja. Tetapi yang bersangkutan tidak merasakan kalau dia sedang terinfeksi Covid-19. Untuk itu dia menegaskan bagi anggota keluarga yang sudah rutin beraktivitas di luar rumah, untuk menerapkan Protokol kesehatan dengan ketat.
Kalster keluarga diantarnya muncul di Malang dengan jumlah 35 kasus dalam 10 klaster keluarga. Kemudian di Bogor ada 48 klaster keluarga dengan 189 kasus positif Covid-19. Lalu di Bekasi ada 155 klaster keluarga dengan jumlah kasus positif Covid-19 sebanyak 437 kasus.
Sementara itu, Sekjen Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Erlang Samoedro menyebut bahwa Klaster Keluarga dalam beberapa kasus dimulai dari anggota keluarga yang bekerja di luar rumah atau bepergian kemudian terpapar virus dan membawa masuk. “Hal ini menjadi awal dari transmisi yang terjadi dalam keluarga,” kata Erlang.
Penyebab lain kata Erlang adalah semakin bebasnya aktivitas komunal warga masyarakat. Sehingga membiarkan anak-anak untuk bermain bersama teman-teman di lingkungannya. Sehingga juga turut terpapar.
Inisiator Pandemic Talks Firdza Radiany mengatakan klaster keluarga menjadi berbahaya karena virus yang dibawa ke rumah bisa menyerang kelompok rentan di keluarga. “Setelah kemunculan klaster kantor ini, muncul klaster keluarga. Dimana keluarga adalah unit sosial terkecil,” katanya.
Hal ini kata Firdza diperparah dengan karakteristik masyrakat indonesia yang masih melakukan aktivitas komunal seperti perkumpulan, arisan, olahraga bersama. “Apalagi ada beberapa daerah yang warganya yang menolak untuk swab karena takut akan stigma dijauhi tetangga,” ungkapnya. (bud/jpg)