Beranda TANGERANG HUB Berkarya dari Balik Jeruji Besi LP Wanita Tangerang, Hasil Karya Dipamerkan hingga...

Berkarya dari Balik Jeruji Besi LP Wanita Tangerang, Hasil Karya Dipamerkan hingga ke Negeri Gajah Putih

1
BERBAGI
LP WANITA: Seorang napi sedang menjahit pakaian.

Karya mereka sering dipamerkan. Baik di level lokal hingga internasional. Sebagian besar kerajinan tangan. Ada yang berbentuk tas, sulaman, ada juga vas bunga. Namun siapa sangka, karya tersebut dibuat dari balik jeruji besi Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas I Tangerang.

KHANIF LUTFI-Tangerang

Suara mesin jahit terdengar cukup nyaring. Ada sekitar lima yang sedang dioperasikan. Sisanya, sedang ditinggal empunya. Mungkin sedang istirahat atau mungkin ke toilet. Yang duduk di balik mesin, bukan cuma orang Indonesia, ada juga sebagian turis. Saat wartawan Fajar Indonesia Network datang. Sebagian besar tertunduk. Menghindari kontak mata. Bahkan beberapa kali menolak untuk difoto. Tapi lambat laun suasana makin cair. Beberapa dari mereka mulai bertanya identitas si pewarta.

Semuanya kaum hawa. Pasti saja. Karena mereka merupakan penghuni Lapas Wanita Kelas I Tangerang. Mereka sedang menjalani masa hukuman. Kasusnya beragam. Ada yang karena narkoba, kriminal umum, juga yang karena korupsi. Masa tahanannya juga tak sama. Tapi, mereka sudah terlihat tegar menjalani masa hukumannya. Salah satu narapidana yang menyebut dirinya Hana mengaku sudah menjalani masa hukuman 18 bulan. Baru setengahnya ia jalani. Setiap hari, ia selalu pergi ke ruangan berisi mesin jahit tersebut. Dari pagi, sampai sore. Tak lupa ikut apel yang rutin di gelar siang hari.

Hana bercerita, awalnya sangat awam dengan mesin jahit. Ia mulai diajarkan teman satu selnya mengoperasikan mesin dengan penggerak motor listrik tersebut. “Awalnya kagok, tapi lama-lama saya suka. Bahkan saya juga bikin pola sendiri,” katanya, Sabtu (12/1). Kini Hana telah menemukan jati dirinya. Dia ternyata mampu mengenal jenis kain dan bahan untuk kebaya. Termasuk membuat pola membuat gaun. “Saya sudah belajar dan saya ternyata mampu,” ujarnya.

Setengah jam berlalu. Pola jahitan seragam sekolah dasar mulai jadi di atas mesin jahit. Bahan kain yang dipakainya TC dacron. Bahannya memang tebal dan memiliki ukuran pori yang sedang. Cocok bagi para siswa sekolahan yang terletak di dataran tinggi untuk membantu mengurangi hawa dingin. “Ini rencananya buat cucu saya di Malang,” katanya. Bagi Hana, menjahit bukan sekadar perintah. Melainkan lebih dari itu, kegiatan merenda dan membuat pakaian adalah caranya membunuh kebosanan. Ia ingin mengalihkan bayang-bayang buruknya yang kini hanya tinggal penyesalan.

“Kita sedang tertekan di sini, mending begini lah daripada duduk tidur dan bengong,” jawabnya. Perbincangan kemudian terpotong setelah ruang prakarya dikunjungi Kalapas Herlin Candrawati. Sang kalapas mulai bercerita bahwa tidak semua napi wanita suka berkarya. Ada juga yang menjalani masa hukuman dengan ngobrol. Ada yang menghabiskan waktu dengan membaca buku dan beribadah.

“Semuanya sama. Tidak kami beda-bedakan. Ini masalah kesukaan saja. Kalau suka salon, kami sediakan. Kalau suka menjahit kami fasilitasi, kalau mau musik kami juga punya tim angklung,” kata Herlin sambil menunjukkan beberapa karya anak didiknya. Ia mengaku karya para narapidana itu sering dipamerkan dalam beberapa kesempatan. Seperti pameran seni di JCC Senayan Jakarta, sampai pameran internasional di Negeri Gajah Putih (Thailand). Ada juga pengunjung yang membelinya. Begitu juga dari seni musik. Tak jarang para narapidana tersebut diboyong untuk tampil dalam berbagai kesempatan. Tapi tentu saja, dalam pengawasan yang sangat ketat.

Yang suka menari, ada juga komunitasnya. Mereka juga ikut tampil jika ada panggilan. Ciri khasnya, tari rampak bedug. Tari khas Banten. Sambil berkeliling, Herlin melanjutkan bercerita. Semua fasilitas yang ada di dalam Lapas bukan tanpa tujuan. “Ketika mereka keluar nanti, mereka sudah mempunyai keterampilan. Sebab tak jarang, mereka yang keluar justru bingung. Karena tidak ada kesibukan seperti di dalam lapas,” ungkapnya.

Selain itu, keterampilan yang mereka dapatkan di dalam lapas juga bisa untuk mencukupi ekonomi keluarga. Karena mayoritas narapidana sudah berstatus janda. Kebanyakan mereka diceraikan suaminya. Mungkin karena tidak bisa lagi memenuhi syahwat sang suami. Tak terasa, kami sidah menuju pintu keluar. Sambil berpamitan, Herlin mengantarkan sampai pintu gerbang. Mengucapkan terima kasih atas kunjungan kami. Melihat dan mendengarkan kisah para wanita tersebut membuat kita berpikir, ternyata bekerja dan menghasilkan karya ternyata jalan satu-satunya mereka bertahan dari kewarasan. Dengan keindahan, mereka bisa mengalun harapan di kemudian hari. (*)

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here