JAKARTA-Kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau kasus eKTP, terus bergulir. Setelah putusan mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuka kemungkinan penyidikan terhadap pelaku lain dari kalangan politisi.
Salah satunya dari Partai Golkar. Itu menyusul pemeriksaan terhadap Ketua Harian Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar Jawa Tengah M. Iqbal Wibisono yang dilakukan KPK, Kamis (26/4) kemarin.
Pemeriksaan yang dimulai pukul 14.00 itu merupakan tindak lanjut dari informasi baru yang diperoleh penyidik KPK terkait dengan aliran dana e-KTP. “Dikonfirmasi tentang dugaan aliran dana e-KTP,” kata Jubir KPK Febri Diansyah.
Febri menjelaskan, pasca putusan Setnov Selasa (24/4), pihaknya terus mendalami indikasi penerimaan duit e-KTP kepada pihak-pihak lain. Nah, Iqbal dinilai mengetahui informasi tersebut. Keterangan Iqbal bakal digunakan untuk mendalami penyidikan keponakan Setnov, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo. “Putusan SN (Setnov) bukan akhir dari penanganan kasus ini (e-KTP),” imbuh dia.
Diketahui sebelumnya, selain divonis 15 tahun penjara, Setya Novanto juga diganjar berbagai hukuman lainnya karena terbukti korupsi dalam proyek e-KTP. Majelis hakim dalam pertimbangannya, menyatakan bahwa Novanto diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sama dengan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Hakim Anggota Anwar menyatakan bahwa terdakwa Setya Novanto telah menerima USD 3,8 juta dan USD 3,5 juta. Sehingga besaran uang pengganti yang harus dibebankan kepada terdakwa sebesar USD 7,3 juta dikurangi sebesar Rp 5 miliar yang telah dititipkan terdakwa ke penyidik KPK.
Hakim menambahkan, pemberian jam tangan merk Richard Mille dari pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Johannes Marliem sudah dikembalikan Novanto kepada Andi. Karena itu, terdakwa tidak lagi dibebani untuk mengembalikan uang seharga jam tangan tersebut.
Hakim menyatakan, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi ketika memegang jabatan sebagai anggota DPR dan ketua Fraksi Golkar. Semestinya, kata dia, Novanto sebagai pejabat lembaga tinggi negara memberikan contoh teladan akan tetapi justru melakukan sebaliknya. Yaitu melakukan intervensi dalam proses penganggaran dan pengadaan barang dan jasa untuk mendapat keuntungan diri sendiri atau orang lain.
“Maka majelis hakim berpendapat terdakwa harus dijatuhi hukuman tambahan yaitu dicabut hak terdakwa untuk dipilih dan menduduki jabatan publik,” kata Hakim Anwar saat membacakan pertimbangan hukum dalam putusan Novanto di persidangan Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/4).
Hakim juga menolak pengajuan justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama yang telah diajukan Novanto kepada penuntut umum KPK. Menurut Anwar, penuntut umum juga menyatakan Novanto belum memenuhi persyaratan sebagai JC.
Anwar menjelaskan untuk menentukan seorang sebagai JC, sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu yang mengakui kejahatan yang dilakukannya. Kemudian, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.
“Menimbang berdasarkan SEMA tersebut, dan oleh karena jaksa penuntut umum menilai bahwa terdakwa Setya Novanto belum penuhi syarat untuk dijadikan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator, maka tentunya dengan demikian majelis hakim tidak dapat mempertimbangkan permohonan terdakwa,” papar Anwar. (jpc)