Beranda HUKUM Dirut PLN Sofyan Basir Tersangka, Idrus Marham Divonis 3 Tahun Penjara 

Dirut PLN Sofyan Basir Tersangka, Idrus Marham Divonis 3 Tahun Penjara 

0
BERBAGI
Sofyan Basir

JAKARTA – Setelah melewati proses panjang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir sebagai tersangka dalam skandal suap proyek pembangunan PLTU Riau 1. Sofyan menjadi tersangka keempat dalam perkara yang diawali operasi tangkap tangan (OTT) pada 13 Juli tahun lalu itu.

Penetapan Sofyan sebagai tersangka diumumkan KPK, kemarin (23/4). Mantan Dirut PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) itu menyusul tiga orang lain yang lebih dulu diproses oleh KPK. Yaitu, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham dan pemegang saham mayoritas Blackgold Natural Resources Johannes Budisutrisno Kotjo.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyebut Sofyan berperan penting dalam skandal suap PLTU Riau 1. Itu diawali dari buntunya permohonan anak perusahaan Blackgold, PT Samantaka Batubara, mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Riau 1 pada 2015. ”Akhirnya Johannes Kotjo mencari bantuan agar diberikan jalan untuk berkoordinasi dengan PLN,” kata Saut.

Di persidangan perkara PLTU Riau 1 di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kotjo disebut meminta bantuan elite Partai Golkar agar bisa berkoordinasi dengan Sofyan. Kebetulan, Kotjo merupakan teman dekat Setya Novanto (Setnov) yang kala itu menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR. Atas arahan Setnov, Kotjo lantas berkoordinasi dengan Eni agar bisa bertemu Sofyan.

Eni pun mengajak Sofyan dan Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso ke rumah Setnov pada 2016. Dalam pertemuan itu, Setnov meminta proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa III. Namun, proyek itu sudah jatah pihak lain. Sofyan pun mengarahkan Eni dan Supangkat untuk berkoordinasi tentang proyek lain, yakni PLTU Riau 1.

Di awal 2017, Eni kemudian memperkenalkan Kotjo kepada Sofyan. Perkenalan itu diduga dilakukan di Kantor Pusat PT PLN di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu, Sofyan diduga mengarahkan Eni dan Kotjo untuk menyerahkan dokumen penawaran pembangunan proyek PLTU Riau 1 ke Supangkat.

Pertemuan-pertemuan itu membuahkan hasil. Pada 29 Maret 2017, IPP PLTU Riau 1 berkapasitas 2 x 300 megawatt senilai USD 900 juta masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2017 sampai 2026 dan disetujui masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB). Setelah PLTU Riau 1 masuk dalam rencana kerja, pertemuan antara Sofyan, Kotjo dan Supangkat diduga semakin intens dilakukan. Pertemuan itu membahas aturan main mendapatkan proyek PLTU Riau 1 berdasar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4/2016 tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Mulai dari teknis pekerjaan hingga pendanaan.

Akhirnya, PLN dan Kotjo sepakat dengan kerjasama pembangunan PLTU Riau 1 dengan skema penunjukan langsung (PL). Syaratnya PT PJB, selaku anak perusahaan PLN, mendapat saham konsorsium minimal 51 persen. Kotjo pun sepakat.

Sehingga, pada 18 Agustus 2017, perusahaan Kotjo menjadi bagian konsorsium PT PJB sebagai mitra pemasok batubara PLTU Riau 1 melalui nota kesepahaman kerjasama antara PT Samantaka dan PT PLN Batubara. Selain membantu deal-dealan proyek, Sofyan juga diduga mengarahkan anak buahnya untuk terus memonitor rangkaian teknis kerjasama itu.

Termasuk, memantau keluhan Kotjo terkait persyaratan kesepatan power purchased agreement (PPA). Saat itu, Kotjo menyebut perusahaan China Huadian Engineering Company (CHEC) selaku pemodal keberatan dengan syarat PPA.

”Diduga SFB (Sofyan Basir) menyuruh salah satu Direktur PT PLN agar PPA antara PLN dengan BNR (Blackgold) dan CHEC segera direalisasikan,” ungkap Saut dalam konferensi pers di gedung KPK.

Lantas apa yang diperoleh Sofyan atas kesepakatan kerjasama itu? Saut mengatakan Sofyan diduga menerima janji yang sama dengan Eni terkait dengan kerjasama pembangunan PLTU Riau 1. Yakni berupa pembagian fee yang diambil dari komisi Kotjo sebesar 2,5 persen dari nilai proyek atau sekitar USD 25 juta (sekitar Rp 350 miliar).

”SFB (Sofyan, Red) diduga menerima janji dengan mendapatkan bagian yang sama besar dari jatah Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham,” terang Saut. Dalam perkara ini, KPK menerapkan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau pasal 56 ayat (2) KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dalam pasal tersebut, suap yang diterima tidak hanya berupa uang. Melainkan juga hadiah atau janji. Sejauh ini, yang telah menerima realisasi fee adalah Eni dan Idrus Marham. Penerimaan itu disebut dalam putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Yakni, untuk Eni sebesar Rp 4,75 miliar. Sedangkan Idrus Rp 2,25 miliar.

Lalu bagaimana dengan nama lain yang telah disebut ikut andil dalam keputusan kerjasama proyek PLTU Riau 1? Saut mengatakan, nama-nama yang muncul, seperti Setya Novanto dan Supangkat, tetap akan didalami dalam proses penyidikan. ”Nanti itu (nama-nama yang muncul, Red) akan didalami lebih lanjut, pasti akan dikroscek kembali,” imbuh dia.

Saut menegaskan, penetapan tersangka Sofyan tidak ada kaitannya dengan intervensi dari pihak manapun. Menurut dia, proses hukum yang dilakukan KPK murni berjalan sesuai koridor. Pun, pemeriksaan Sofyan sebagai saksi sudah beberapa kali dilakukan. Baik di tahap penyidikan maupun di persidangan.

”Ini soal waktu saja, ketika kami memutuskan SPDP (surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, Red), waktunya itu mulai jalan,” papar mantan pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) itu. Dia menambahkan, SPDP telah dikirimkan ke rumah Sofyan pagi kemarin (23/4). Dia pun meminta semua pihak untuk menghormati dan mengawal proses hukum tersebut agar dapat berjalan maksimal. Ke depan, pihaknya akan memanggil Sofyan dan para saksi lain dalam proses penyidikan tersebut. ”Kami ingatkan tersangka dan saksi bersikap kooperatif.”

Disisi lain, sumber Jawa Pos di internal KPK mengatakan, penetapan Sofyan sebagai tersangka sejatinya sudah bisa dilakukan tahun lalu. Sebab, dari alat bukti yang ditemukan sudah muncul dugaan keterlibatan Sofyan. Namun, terjadi perdebatan dalam gelar perkara di tingkat pimpinan dan kedeputian kala itu.

Sebagian pimpinan menyarankan penetapan dilakukan setelah persidangan Eni dan Kotjo berkekuatan hukum tetap. Sementara lainnya setuju Sofyan naik penyidikan. ”Yang jelas prosesnya (penetapan Sofyan sebagai tersangka) panjang dan alot,” ungkap sumber tersebut.

Sementara itu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis eks Menteri Sosial Idrus Marham tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider dua bulan kurungan. Idrus terbukti bersalah menerima suap senilai Rp2,250 miliar dari bos PT Blackgold Natural Resources Johannes Budisutrisno Kotjo. Suap tersebut ia terima melalui mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih, terkait proyek pembangunan PLTU Riau-1.

Idrus Marham

“Mengadili, menyatakan terdakwa Idrus Marham telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama,” ujar Hakim Ketua Yanto di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (23/4). Perbuatan Idrus yang tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi dipertimbangkan majelis hakim sebagai faktor pemberat putusan. Selain itu, putusan juga diperberat oleh terdakwa yang enggan mengakui perbuatannya.

Namun, fakta bahwa Idrus tidak menikmati uang hasil korupsi menjadi pertimbangan hakim sebagai faktor yang meringankan. Ditambah, ia berlaku jujur dan sopan selama persidangan, serta sebelumnya tidak pernah terjerat hukum. Majelis hakim mengatakan, total uang sebesar Rp4,750 miliar dan Rp2,250 miliar yang diterima Eni dari Kotjo diketahui dan disetujui Idrus. Lebih lanjut dikatakan dia, uang tersebut rencananya digunakan untuk pelaksanaan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang akan mengusung Idrus sebagai ketua umum menggantikan Setya Novanto.

Majelis hakim menjelaskan, pemberian uang bermula dari perkenalan Eni dengan Kotjo atas perintah Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Golkar. Namun, sejak Novanto terjerat kasus e-KTP, Eni kemudian berkomunikasi dengan Idrus yang menjabat Plt Ketua Umum Golkar menggantikan Novanto.

Hakim menambahkan, Eni meminta bantuan Idrus untuk berkomunikasi dengan Kotjo. Setelahnya, hakim menyebut Eni menerima Rp2 miliar dari Kotjo melalui anak buahnya, Tahta Maharaya. Eni lalu kembali meminta uang sebesar Rp10 miliar kepada Kotjo untuk kepentingan pencalonan suaminya, M Al Khadziq, di Pilkada Temanggung. Permintaan tersebut, kata hakim, sempat ditolak Kotjo karena nominal terlalu besar dan perusahaannya belum memiliki uang. Eni kemudian meminta bantuan Idrus untuk berkomunikasi dengan Kotjo hingga akhirnya permintaan tersebut terealisasi.

“Menimbang dengan diterimanya uang sebesar Rp2,250 miliar oleh Eni Maulani Saragih dari Johanes Budisutrisno Kotjo di mana penerimaan tersebut sepengetahuan dan diketahui terdakwa Idrus Marham,” sebut hakim. Hakim menyatakan, Idrus pun secara aktif meminta uang pada Kotjo sebagai pengusaga yang meminta bantuan Eni untuk mendapatkan proyek di PLN. Hal ini lantaran dirinya terlebih dahulu kenal dengan Kotjo ketimbang Eni. “Maka dengan demikian, majelis hakim berkesimpulan unsur menerima hadiah atau janji telah terpenuhi menurut hukum dan ada dalam perbuatan terdakwa,” tegas hakim.

Menanggapi putusannya, Idrus mengaku akan memanfaatkan waktu yang diberikan hakim selama tujuh hari untuk mempelajari vonis bersama kuasa hukumnya. Namun, ia tetap bersikukuh bahwa dirinya tidak bersalah dalam kasus ini. “Ya tentunya sebagai seorang Muslim saya bersumpah bahwa Demi Allah saya tidak tahu penerimaan itu. Saya tidak tahu penerimaan itu sehingga cukup lah Allah yang tahu bahwa saya tidak tahu sama sekali,” ucap Idrus usai persidangan.

Idrus membeberkan, berdasarkan analisis pribadi, proses permintaan hingga penerimaan dana terealisasi dalam kasus ini memakan waktu hingga dua setengah tahun. Sedangkan, kata dia, dirinya hanya menjabat sebagai plt ketua umum Golkar selama 21 hari. Jadi, menurutnya, ia sama sekali tidak terkait dengan kasus ini. “Saya sudah katakan bahwa kalau saya tahu Eni Saragih menerima banyak uang tidak mungkin juga saya meminjamkan uang juga karena Eni Saragih juga meminjamkan uang kepada saya. Itu lho fakta-fakta yang ada,” terangnya. (jpg/fin)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here