
SERANG, TANGERANGEKSPRES.CO.ID – Setiap orang pasti mengharapkan kebahagiaan. Kebahagiaan berasal dari kata dasar bahagia. Menurut Kamus Bahasa Besar Indonesia (KBBI), bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tentram atau bebas dari segala hal yang menyusahkan.
Tentu saja kebahagiaan itu tidak hanya diinginkan di dunia, tapi pasti juga di akhirat. Bahkan itu harus lebih ingin. Karena kehidupan dunia sementara, sedangkan kehidupan akhirat kekal.
Seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dari Arab Saudi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah mengatakan dalam buku “Empat Kaedah Memahami Tauhid” bahwa tanda-tanda kebahagiaan ada tiga.
Dalam mukadimah kitab tersebut disebutkan bahwa apabila diberi kenikmatan maka orang tersebut bersyukur, apabila ditimpa musibah maka orang tersebut bersabar, dan apabila terjatuh dalam perbuatan dosa maka orang tersebut beristighfar.
Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah lain, Syaikh Shalih bin Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan tentang tanda-tanda kebahagian tersebut.
Terkait perkataan “Apabila diberi nikmat maka orang tersebut bersyukur”, dalam buku tersebut disampaikan bahwa ini berbeda dengan orang yang apabila diberikan nikmat mengkufuri dan menyalahgunakan nikmat tersebut.
Sebab mayoritas orang apabila diberi nikmat, mereka mengufuri dan mengingkarinya serta menggunakan nikmat tersebut tidak pada ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Sehingga nikmat tersebut menjadi sebab kesengsaraan mereka. Adapun orang yang bersyukur Allah akan memberikan tambahan nikmat kepadanya.
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu…’” (Q.S. Ibrahim: 7).
Kemudian terkait perkataan “Apabila ditimpa musibah bersabar”, dalam buku itu disampaikan bahwa Allah Ta’ala akan selalu memberikan cobaan dan ujian kepada para hamba.
Allah akan menguji mereka dengan berbagai musibah, menguji mereka dengan hal-hal yang tidak disenanginya.
Terkadang juga diuji dengan musuh-musuh dari kalangan orang-orang kafir dan munafik.
Oleh karena itu dibutuhkan kesabaran. Tidak putus harapan dan tidak putus asa dari rahmat Allah. Mereka istikamah di atas agama mereka dan mau bersabar menanggung berbagai keletihan dan kepayahan dalam memperjuangkannya.
Berbeda dengan orang yang ketika ditimpa musibah tidak sabar. Orang itu murka, mengeluh, dan putus asa dari rahmat Allah Ta’ala.
Pada orang yang seperti ini, musibah yang dialaminya semakin bertambah berat dan semakin bertambah parah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya Allah Ta’ala jika mencintai suatu kaum maka Allah selalu menguji mereka. Barangsiapa ridho maka baginya keridhoan Allah dan barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan”. (H.R Tirmidzi, 4/601, Ibnu Majah no. 4031, dan Imam Ahmad, 5/428).
Allah telah menguji para rasul, para shiddiqin, para syuhada, dan hamba-hamba Allah yang mukmin, akan tetapi mereka semua bersabar.
Maka seyogyanya setiap hamba mempersiapkan dirinya, yaitu ketika ditimpa musibah maka sesungguhnya musibah itu tidak hanya menimpa dirinya sendiri, tetapi telah didahului oleh pada wali Allah.
Oleh sebab itu, hendaknya dia mempersiapkan dirinya, bersabar dan menunggu jalan keluar dari Allah Ta’ala, dan kesudahan yang baik itu hanya bagi orang-orang yang bertakwa.
Adapun ihwal perkataan “Apabila kamu terjatuh pada perbuatan dosa maka beristighfar”, disampaikan dalam kitab itu bahwa orang yang terjatuh dalam perbuatan dosa dan tidak bertaubat, bahkan semakin menambah dosa yang dia lakukan, maka orang seperti ini adalah orang yang celaka (kita berlindung kepada Allah dari perbuatan tersebut).
Adapun hamba yang beriman, apabila terjatuh pada perbuatan dosa maka segera bertaubat.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?” (Q.S. Al-Imron: 135) (*)
Reporter/Editor: Sutanto bin Omo